Landasan hukum agamis asuransi syariah tak lepas dari nilai-nilai prinsip yang mendasari sistem pengelolaannya, yaitu -Pertama- prinsip tauhid. Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah, karena hakekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya termasuk berasuransi. Artinya, niat dasar ketika berasuransi haruslah berdasarkan prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh, dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi bukanlah semata-mata meraih keuntungan atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung ke syariah. Tapi, haruslah berangkat dari sebuah niat untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam berasuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-menolong yang berlandaskan asas syariah, bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid terimplementasikan pada industry asuransi syariah. Inilah keranka ibadah yang menjadi dasar makhluk diciptakan. Dalam hal ini Allah SWT. Berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS Adz-Dzariyaat:56).
Kedua, prinsip keadilan. Nilai ini menjadi landasan
implementasi asuransi syariah, sehingga harus benar-benar bersikap adil,
khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, atau
antara nasabah denagn perusahaan, terkait dengan hak dan kewajiban
masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzolimi nasabah dengan hal-hal
yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi asuransi
sebagai ssebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidakadilan sangatlah
besar.
Perlu
digaris bawahi, ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketiak
seorang peserta (karena sebab tertentu) terpaksa mengundurkan diri sebelum masa
reversing period. Sementara ia telah
beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena
kondisi tersebut, maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus.
Demikian juga pada asuransi non-saving
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka
premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan
dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan
ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak
mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi, peserta tidak punya dana
untuk melanjutkan, maka dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini
mengakibatkan posisi pendzoliman. Prinsip muamalah
melarang kita saling mendzolimi, laa dharraa wala dhirara (tidak ada yang
merugikan dan dirugikan).
Dalam
asuransi syariah tidak dikenal dana hangus, karena nilai tunai telah
diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk
karena satu dan lain hal mengundurkan diri, maka dana/premi yang sebelumnya
dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dan yang diniatkan
sebagai dana tabarru’ (dana
kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan
selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan
sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan di awal perjanjian(akad).
Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke
peserta (tidak hangus). Jumlahnya pun sangat tergantung dari hasil investasinya.
Terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving
nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi,
lalu tidak mengambil dana tersebut walau pihak perusahaan telah menghubungi
pihak yang bersangkutan. Lalu mau dikemanakan dana tersebut? Pertanyaan ini
terlontar karena dana tersebut bukan milik perusahaan asuransi syariah, tetapi
milik nasabah. Hal ini berbeda dengan asuransi konvensional pada umumnya. Dalam
QS. Al-Maidah:08, “Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ketiga, prinsip tolong-menolong. Semangat
tolong-menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi
syariah, karena pada hakekatnya, memang didasarkan pada prinsip ini, dimana
sesama peserta ber-tabarru’ atau
berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah
tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah. Peserta berderma hanya
kepada sesama peserta. Perusahaan asuransi syariah hanya bertindak sebagai
pengelola saja. Konsekuensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau
mengklaim dana tabarru’ nasabah.
Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee)
atas pengelolaan dana tabarru’
tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi
(premi). Perusahaan asuransi syariah, mengelola dana tabarru’ tersebut untuk diinvestasikan (secara syariah), kemudian
dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dengan konsep seperti
ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan sikap saling
menolong walau antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT. berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2).
Keempat, prinsip kerjasama. Antara nasabah
dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa
yang digunakannya. Dengan akad mudharabah-musyarakah,
terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal), sedangkan perusahaan asuransi
syariah sebagai mudharrib (pengelola/pengusaha).
Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya
40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama
terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, sementara
perusahaan asuransi syariah juga menunaikan hak dan kewajibannya secara baik,
maka akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula. Insya Allah, pola kerjasama itu akan membawa keberkahan pada kedua
belah pihak.
Kelima, prinsip amanah. Amanah juga merupakan prinsip yang
sangat penting, karena pada hakikatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak
harus dipertanggungjawabkan dihadapkan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk
amanah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam
aspek resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam arti
mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang
tentunya berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun juga
demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak
pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya
mendapatkan syurga. Rasulullah SAW. bersabda, Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di
akhirat) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada (HR. Turmudzi).
Keenam, prinsip saling ridha (‘an taradhin). Dalam transaksi apapun,
aspek ‘an taradhin atau saling
meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan
asuransi syariah yang amanah dan professional. Dan perusahaan asuransi syariah
ridha terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi
(premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk
nasabah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban
penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling
menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan
ridha, bekerjasama dengan ridha, serta bertransaksi dengan ridha pula.
0 komentar:
Posting Komentar