Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi
syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992
tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, “Asuransi
adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tentu”.
Pengertian diatas tidak dapat
dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah karena tidak mengatur
keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis
pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman
untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada
tidak dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syariah. Tetapi
fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional
karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Agar ketentuan asuransi syariah memiliki kekuatan
hukum, maka perlu dibentuk peraturan termasuk peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia meskipun dirasakan belum memberi kepastian hukum yang lebih
kuat. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan RI No.
426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan
Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan
tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis syariah.
0 komentar:
Posting Komentar