Ketujuh, prinsip menghindari riba. Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal ini juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah, yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Sementara,
asuransi syariah menyimpan dananya di bank syariah dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk
investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT
berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 130, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba karena riba memang
bersifat berlipat ganda. Bertawakalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Imam Muslim menyampaikan, “Rasulullah
mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya
bersabda kepada mereka semua sama”.
Karena itu
riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh mungkin khususnya
dalam berasuransi, karena riba merupakan sebatil-batilnya muamalah. Kontribusi
(premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi yang
sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan sistem
operasional asuransi syariah harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’, sehingga menhilangkan unsur riba pada pemberian manfaat
asuransi syariah (klaim) kepada nasabah.
Kedelapan, prinsip menghindari maisir.
Asuransi yang jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisir
(judi). Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatah syaithan.
Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Muhammad
Fadli Yusuf menjelaskan unsure maisir dalam asuransi konvensional karena adanya
unsure gharar, terutama dalam kasus
asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum
periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli
waris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui
darimana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang
pertanggungannya. Hal ini terjadi karena keuntungan yang diperoleh berasal dari
keberanian mengambil resiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli
Yusuf menilai, pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi.
Yang bisa disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak atau
sedikitnya klai yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat
dipengaruhi oleh banyak dan atau sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
Seorang
nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak pernah klaim.
Di sisi lain terdapat nasabah yang baru satu kali membayar premi lalu klaim.
Hal ini terjadi karena konsep yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah
konsep transfer of risk, dimana
perusahaan asuransi konvensional (ketika menerima premi) otomatis premi
tersebut menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bisa untung besar
(manakala premi banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi
sedikit dan klaimnya banyak).
Kesembilan, prinsip menghindari gharar.
Gharar adalah ketidakjelasan. Dan bicara mengenai resiko sama artinya bicara
mengenai ketidakjelasan, karena resiko bisa terjadi bisa tidak. Dalam syariat
Islam, tidaklah diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut aspek
ketidakjelasan. Dalam asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui apakah ia
mendapatkan klaim atau tidak, karena klaim sangat bergantung pada resiko yang
menimpanya. Jika ada resiko maka ia mendapat klaim. Jika tidak, maka ia tidak
mendapat klaim. Hal seperti ini menjadi gharar adanya, karena akad atau konsep
yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan
jika menggunakan aspek sharing of risk,
ketidakjelasan tadi tidak menjadi gharar.
Kesepuluh, prinsip menghindari risywah.
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah
harus menjauhkan diri sejauh mungkin dari aspek risywah (sogok-menyogok atau
suap-menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu
pihak, dan pasti aka nada pihak lain yang dirugikan. Nasabah misalnya, tidak
boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim). Atau
sebaliknya, perusahaan tidak perlu menyogok oknum asuransi supaya bisa
mendapatkan kontribusi (premi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara
baik, transparan, adil dan dilandasi dengan ukhuwah
Islamiyah.
Itulah
sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan asuransi syariah. Alangkah
indahnya sepuluh prinsip itu, apabila diimplementasikan secara baik dalam
asuransi syariah, dan setelah membaca sepuluh prinsip ini, tidakkah tertarik
untuk berasuransi syariah?
Dengan
mencermati sejumlah prinsip asuransi syariah dan sejumlah perbedaan diantara
dua sistem itu, maka dapatlah disimpulkan bahwa asuransi syariah sesungguhnya
terbaik dari seluruh system asuransi yang ada karena nilai-nilainya memang
sangat sesuai dengan kepentingan kemanusiaan. Sebagaimana tercatat dalam QS.
Al-Maidah ayat 2 yang memerintahkan umat manusia untuk tolong-menolong antar sesama
manusia.
(AM. Saefuddin, dalam
bukunya Membumikan Ekonomi Islam,
Jakarta: PT PPA Consultants, 2011).