Selasa, 19 Maret 2013 0 komentar

Nilai-nilai Dasar Asuransi Syariah (bag 2)



Ketujuh, prinsip menghindari riba. Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal ini juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah, yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Sementara, asuransi syariah menyimpan dananya di bank syariah dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba karena riba memang bersifat berlipat ganda. Bertawakalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Imam Muslim menyampaikan, “Rasulullah mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama”.
Karena itu riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh mungkin khususnya dalam berasuransi, karena riba merupakan sebatil-batilnya muamalah. Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan sistem operasional asuransi syariah harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’, sehingga menhilangkan unsur riba pada pemberian manfaat asuransi syariah (klaim) kepada nasabah.
Kedelapan, prinsip menghindari maisir. Asuransi yang jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisir (judi). Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatah syaithan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsure maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsure gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui darimana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini terjadi karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil resiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf menilai, pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang bisa disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak atau sedikitnya klai yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak dan atau sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
Seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak pernah klaim. Di sisi lain terdapat nasabah yang baru satu kali membayar premi lalu klaim. Hal ini terjadi karena konsep yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk, dimana perusahaan asuransi konvensional (ketika menerima premi) otomatis premi tersebut menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bisa untung besar (manakala premi banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi sedikit dan klaimnya banyak).
Kesembilan, prinsip menghindari gharar. Gharar adalah ketidakjelasan. Dan bicara mengenai resiko sama artinya bicara mengenai ketidakjelasan, karena resiko bisa terjadi bisa tidak. Dalam syariat Islam, tidaklah diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut aspek ketidakjelasan. Dalam asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui apakah ia mendapatkan klaim atau tidak, karena klaim sangat bergantung pada resiko yang menimpanya. Jika ada resiko maka ia mendapat klaim. Jika tidak, maka ia tidak mendapat klaim. Hal seperti ini menjadi gharar adanya, karena akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan jika menggunakan aspek sharing of risk, ketidakjelasan tadi tidak menjadi gharar.
Kesepuluh, prinsip menghindari risywah. Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah harus menjauhkan diri sejauh mungkin dari aspek risywah (sogok-menyogok atau suap-menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu pihak, dan pasti aka nada pihak lain yang dirugikan. Nasabah misalnya, tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim). Atau sebaliknya, perusahaan tidak perlu menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan kontribusi (premi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik, transparan, adil dan dilandasi dengan ukhuwah Islamiyah.


Itulah sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan asuransi syariah. Alangkah indahnya sepuluh prinsip itu, apabila diimplementasikan secara baik dalam asuransi syariah, dan setelah membaca sepuluh prinsip ini, tidakkah tertarik untuk berasuransi syariah?
Dengan mencermati sejumlah prinsip asuransi syariah dan sejumlah perbedaan diantara dua sistem itu, maka dapatlah disimpulkan bahwa asuransi syariah sesungguhnya terbaik dari seluruh system asuransi yang ada karena nilai-nilainya memang sangat sesuai dengan kepentingan kemanusiaan. Sebagaimana tercatat dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang memerintahkan umat manusia untuk tolong-menolong antar sesama manusia.
(AM. Saefuddin, dalam bukunya Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011).
0 komentar

Nilai-nilai Dasar Asuransi Syariah (bag 1)



Landasan hukum agamis asuransi syariah tak lepas dari nilai-nilai prinsip yang mendasari sistem pengelolaannya, yaitu -Pertama- prinsip tauhid. Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah, karena hakekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya termasuk berasuransi. Artinya, niat dasar ketika berasuransi haruslah berdasarkan prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh, dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi bukanlah semata-mata meraih keuntungan atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung ke syariah. Tapi, haruslah berangkat dari sebuah niat untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam berasuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-menolong yang berlandaskan asas syariah, bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid terimplementasikan pada industry asuransi syariah. Inilah keranka ibadah yang menjadi dasar makhluk diciptakan. Dalam hal ini Allah SWT. Berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS Adz-Dzariyaat:56).
Kedua, prinsip keadilan. Nilai ini menjadi landasan implementasi asuransi syariah, sehingga harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, atau antara nasabah denagn perusahaan, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzolimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi asuransi sebagai ssebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidakadilan sangatlah besar.
Perlu digaris bawahi, ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketiak seorang peserta (karena sebab tertentu) terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut, maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi, peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, maka dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi pendzoliman. Prinsip muamalah melarang kita saling mendzolimi,  laa dharraa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Dalam asuransi syariah tidak dikenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri, maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dan yang diniatkan sebagai dana tabarru’ (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan di awal perjanjian(akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya pun sangat tergantung dari hasil investasinya. Terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dana tersebut walau pihak perusahaan telah menghubungi pihak yang bersangkutan. Lalu mau dikemanakan dana tersebut? Pertanyaan ini terlontar karena dana tersebut bukan milik perusahaan asuransi syariah, tetapi milik nasabah. Hal ini berbeda dengan asuransi konvensional pada umumnya. Dalam QS. Al-Maidah:08, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ketiga, prinsip tolong-menolong. Semangat tolong-menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah, karena pada hakekatnya, memang didasarkan pada prinsip ini, dimana sesama peserta ber-tabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah. Peserta berderma hanya kepada sesama peserta. Perusahaan asuransi syariah hanya bertindak sebagai pengelola saja. Konsekuensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengklaim dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan asuransi syariah, mengelola dana tabarru’ tersebut untuk diinvestasikan (secara syariah), kemudian dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan sikap saling menolong walau antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT. berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2).
Keempat, prinsip kerjasama. Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah-musyarakah, terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal), sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharrib (pengelola/pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, sementara perusahaan asuransi syariah juga menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula. Insya Allah, pola kerjasama itu akan membawa keberkahan pada kedua belah pihak.
Kelima, prinsip amanah. Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting, karena pada hakikatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapkan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam arti mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang tentunya berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun juga demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya mendapatkan syurga. Rasulullah SAW. bersabda, Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada (HR. Turmudzi).
Keenam, prinsip saling ridha (‘an taradhin). Dalam transaksi apapun, aspek ‘an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan professional. Dan perusahaan asuransi syariah ridha terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan ridha, bekerjasama dengan ridha, serta bertransaksi dengan ridha pula.
0 komentar

Asuransi Syariah di Indonesia : Dasar Hukum


Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, “Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
            Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Agar ketentuan asuransi syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasakan belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis syariah.
0 komentar

Konsep Dasar Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah (catatan kuliah 1)



 
Asuransi Konvensional
Definisi
1)      Pertanggungan.  
Kata “asuransi” berasal dari assurantie (dalam bahasa Belanda) pertanggungan
2)      Memberikan rasa aman/security
3)      Mengelola resiko.
Robert I. Mehr, “insurance is a device for reducing risk by combining a sufficient number of exposure units to make their individual loses collectively predictable. The predictable loss is then shared by/or distributed proportionately among all units in the combination”
4)      Premi untuk membayar klaim.
“Insurance is a device by means of which the risks of two or more persons or firms are combined through actual or promised contributions to a fund out of which claimants are paid”
5)      UU No. 2/1992, asuransi adalah perjanjian dua pihak (penanggung dan tertanggung) dengan membayar dan menerima premi atas kerugian pihak tertanggung

Sejarah
      Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Sedangkan cikal bakal asuransi syariah  berasal dari Al-Aqilah, yaitu kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Hal itu disahkan oleh Rasulullah dan menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah. Riwayat itu tentang pertikaian 2 wanita suku Huzail yang ketika itu salah satu menjadi korban. Al-Aqilah biasa disebut sebagai uang darah yang berlaku untuk pembunuhan saudara sesama muslim, beda dengan diyat yaitu uang darah yang berlaku untuk pembunuhan lintas agama.
Sumber
Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan contoh sebelumnya
Konsep
      Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.
Jaminan
      Transfer of risk. Akadnya adalah jual-beli. Itu artinya resiko anda dibeli oleh perusahaan asuransi. Hal tersebut jelas menunjukan praktek maysir (judi) dan ghoror (ketidak jelasan). Jual beli yang tidak jelas.
Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Dan perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemana saja.
Ketika akadnya jual beli, maka premi yang dibayarkan mutlak milik perusahaan. Dengan memberikan resiko anda kepada perusahaan, perusahaan mengakuinya sebagai pendapatan. Otomatis dengan konsep yang dipakai dimisalkan, selama 5 tahun peserta tidak mengajukan klaim maka premi akan hangus karena premi telah diserahkan adalah milik perusahaan dan ketika itu kerugian bagi peserta.


Asuransi Syariah
Definisi
Asuransi = at-ta’min (arab), yaitu memberi perlindungan, ketenangan (Quraisy: 4)
Ta’min = seseorang membayar uang cicilan agar ia dan ahli warisnya mendapat sejumlah uang sebagaimana disepakati (Kamus al Mu’jam al Wasith)
Ta’min = ta’awun = tadhamun
Fatwa DSN No. 21/2001, asuransi adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah.
Praktik Asuransi (Masa Rasulullah)
1)      Konsep Aqila
2)      Konsep Diyat dan Warisan
3)      Konsep Fidyah = Mengumpulkan makanan dari semua anggota dan membagi rata
4)      Al Munahadah = Tanggung jawab masyarakat terhadap anggota
5)      Asuransi Kelautan

Sumber
     Al Quran = QS 5:2,
     Hadits tawakal setelah berusaha (badui dan ontanya),
     Hadits melapangkan kesulitan orang lain,
     Hadits suku Huzail,
Ijma’, Qiyas, Fatwa Sahabat, istihsan,
     Maslahah Mursalah = kebutuhan publik,
     Urf (tradisi/kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang dinilai baik).

Konsep
      Sekumpulan orang yang saling bantu membantu, saling menjamin, dan bekerjasama antara satu        dengan yang lainnya, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru`
  
Jaminan
            Sharing of Risk. Akadnya adalah tolong-menolong. Itu artinya terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta`awun).
            Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut.

Jenis Asuransi
1)      Ta'min Khairy
2)      Ta'minn Ta'awuni
3)      Ta'min Tijary
Prinsip/Nilai dalam Asuransi
1)      Akad
2)      Kewajiban
3)      Utmost good faith
4)      Waris dan Wasiat
5)      Wakalah
6)      Dhaman/jaminan
7)      Mudharabah
8)      Hak dan Kewajiban
9)      HAM
10)  Saling tolong menolong

Kontroversi terhadap Asuransi
Ibn Abidin: iltizam ma lam yalzam = premi untuk tanggungan barang dalam kapal
Al Qardawi, Abu Zahroh, M. Muslehudin, Wahbah Zuhaili, Husein Hamid Hisan: Unsur MAGHRIB
Muslehudin: Menyalahi takdir Bertentangan dengan faraidh
Al Qardawi: premi hangus jika tidak ada klaim

 
;