Selasa, 19 Maret 2013

Nilai-nilai Dasar Asuransi Syariah (bag 1)



Landasan hukum agamis asuransi syariah tak lepas dari nilai-nilai prinsip yang mendasari sistem pengelolaannya, yaitu -Pertama- prinsip tauhid. Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah, karena hakekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya termasuk berasuransi. Artinya, niat dasar ketika berasuransi haruslah berdasarkan prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh, dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi bukanlah semata-mata meraih keuntungan atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung ke syariah. Tapi, haruslah berangkat dari sebuah niat untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam berasuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-menolong yang berlandaskan asas syariah, bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid terimplementasikan pada industry asuransi syariah. Inilah keranka ibadah yang menjadi dasar makhluk diciptakan. Dalam hal ini Allah SWT. Berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS Adz-Dzariyaat:56).
Kedua, prinsip keadilan. Nilai ini menjadi landasan implementasi asuransi syariah, sehingga harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, atau antara nasabah denagn perusahaan, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzolimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi asuransi sebagai ssebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidakadilan sangatlah besar.
Perlu digaris bawahi, ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketiak seorang peserta (karena sebab tertentu) terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut, maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi, peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, maka dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi pendzoliman. Prinsip muamalah melarang kita saling mendzolimi,  laa dharraa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Dalam asuransi syariah tidak dikenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri, maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dan yang diniatkan sebagai dana tabarru’ (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan di awal perjanjian(akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya pun sangat tergantung dari hasil investasinya. Terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dana tersebut walau pihak perusahaan telah menghubungi pihak yang bersangkutan. Lalu mau dikemanakan dana tersebut? Pertanyaan ini terlontar karena dana tersebut bukan milik perusahaan asuransi syariah, tetapi milik nasabah. Hal ini berbeda dengan asuransi konvensional pada umumnya. Dalam QS. Al-Maidah:08, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ketiga, prinsip tolong-menolong. Semangat tolong-menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah, karena pada hakekatnya, memang didasarkan pada prinsip ini, dimana sesama peserta ber-tabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah. Peserta berderma hanya kepada sesama peserta. Perusahaan asuransi syariah hanya bertindak sebagai pengelola saja. Konsekuensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengklaim dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan asuransi syariah, mengelola dana tabarru’ tersebut untuk diinvestasikan (secara syariah), kemudian dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan sikap saling menolong walau antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT. berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2).
Keempat, prinsip kerjasama. Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah-musyarakah, terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal), sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharrib (pengelola/pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, sementara perusahaan asuransi syariah juga menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula. Insya Allah, pola kerjasama itu akan membawa keberkahan pada kedua belah pihak.
Kelima, prinsip amanah. Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting, karena pada hakikatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapkan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam arti mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang tentunya berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun juga demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya mendapatkan syurga. Rasulullah SAW. bersabda, Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada (HR. Turmudzi).
Keenam, prinsip saling ridha (‘an taradhin). Dalam transaksi apapun, aspek ‘an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan professional. Dan perusahaan asuransi syariah ridha terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan ridha, bekerjasama dengan ridha, serta bertransaksi dengan ridha pula.

0 komentar:

 
;