Selasa, 19 Maret 2013

Asuransi Syariah di Indonesia : Dasar Hukum


Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, “Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
            Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Agar ketentuan asuransi syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasakan belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis syariah.

0 komentar:

 
;